Aku teringat akan kisah yang terjadi 18 tahun yang lalu, ketika aku
masih di alam persekolahan. Kisah yang akan kuceritakan ini mendatangkan
kesan yang mendalam terhadap kehidupanku. Umurku sekarang 30 tahun
lebih.
ewaktu berada di tingkat 5, di salah satu sekolah di Malaysia ini, aku
terkenal dengan sifatku yang pemalu dan takut terhadap wanita.
Ketakutanku itu bukan kerena takut seperti selayaknya orang melihat
hantu, tetapi adalah karena tidak adanya kekuatan dalam diriku untuk
berhadapan dan bergaul dengan mereka. Walau bagaimanapun, aku seorang
yang happy go lucky, suka bersenda gurau. Sekolahku tu pulak, sekolah
laki-laki. Semua pelajarnya laki-laki, wanita yang ada hanyalah Dosen
saja. Jadi semakin bertambahlah ketakutanku pada kaum hawa itu.
Walaupun aku tidak berani berhadapan dengan wanita, keinginanku untuk
bergaul dengan mereka sangat tinggi. Aku sering berangan-angan memiliki
pacar, dan aku juga suka cemburu melihat teman-temanku yang punya pacar
dan sering keluar bersama pacar mereka. Aku juga memilki tabiat yang
lain, yaitu gemas jika melihat wanita dewasa dan seksi, terutama yang
keturunan Cina. Bila aku pergi ke tempat renang, aku sering onani
setelah melihat cewek-cewek Cina yang seksi dan menggairahkan itu.
Akibatnya aku jarang sekali berenang. Di sekolahku, dosen wanitanya
lebih banyak dari pada dosen pria. Ada yang Cina, India, dan yang Melayu
pun ada. Di antara dosen perempuan tersebut, ada tiga orang yang
setengah baya dan seksi. Dua orang Cina dan seorang lagi Melayu. Dosen
Cina yang dua orang ini mengajar di semester 6, selalu menggunakan kaos
saja jika datang ke sekolah. Yang pertama namanya Miss Wong dan satunya
lagi Madam Chong. Madam Chong walaupun sudah memiliki tiga orang anak
dan umurnya sudah dekat 40 tahun, tetapi badannya masih seksi.
Sedangkan
Miss Wong masih belum menikah, tetapi umurnya sudah cukup matang,
kurang lebih 30 tahun. Tubuhnya masih montok. seperti biasa, cewek Cina
memang punya bentuk badan yang menarik. Sedangkan dosen wanita satunya
itu adalah dosen Melayu yang baru saja dipindahkan ke sekolah ini,
dengar kabar dia berasal dari Trengganu. Dia pindah sebab ikut suaminya
yang pindah kerja ke sini. Kami memanggilnya Dosen Hanizah yang berusia
sekitar 25 tahun. Beliau baru saja menikah dan mempunyai seorang anak
yang baru berumur setahun lebih. Kabarnya, setelah lulus kuliahnya, dia
terus menikah. Tinggal di Kuala Trengganu selama setahun, terus pindah
ke sini. Suaminya bekerja sebagai Pegawai Pemerintahan.
Aku sangat suka melihat ketiga orang dosen ini, wajah mereka dan
badan mereka sungguh menawan, terutama dosen Hanizah. Walaupun dia tidak
berpakaian seksi, apalagi bertudung tetapi tetap mengairahkan. Jika
Miss Wong atau Madam Chong ingin pulang, atau baru sampai, aku pasti
mendekati ke arah mobil mereka. Bukannya mau menolong membawakan buku
mereka, tetapi ingin melihat paha seksi mereka ketika sedang duduk di
dalam mobil. Kemaluanku pun terangsang saat itu.
Kalau Dosen Hanizah
agak susah dilihat keseksiannya, sebab dia bertudung dan berbaju kurung
ke sekolah. Jika dia memakai kebarung, baru kelihatan sedikit bentuk
tubuhnya yang montok dan molek itu. Apa yang aku sangat suka pada Dosen
Hanizah adalah wajahnya yang lembut dan menawan, suaranya manja bila
berbicara. Dengan bentuk badan yang kecil molek, kulit yang putih akan
memukau mata siapa saja yang memandang. Tetapi sayang seribu kali sayang
karena ketiga dari mereka tidak ditakdirkan mengajar di kelasku. Aku
hanya dapat melihat mereka pada waktu istirahat, waktu rapat bersama
ataupun di ruang guru saja. Jarang sekali kesempatan yang mengijinkanku
bersama dengan mereka.
Entah bulan berapa, aku tidak ingat, kalau tidak salah dalam bulan
Maret, dosen metematikaku pindah ke sekolah lain, alasan pindahnya aku
tidak ingat. Jadi, selama 2 minggu kami tidak belajar matematika.
Memasuki minggu yang ketiga, waktu pelajaran matematika, Dosen Hanizah
masuk ke kelas kami. Kami semua keheranan, apakah dia masuk untuk
mengganti sementara atau mengajar mata pelajaran ini untuk menggantikan
dosen lama. Dosen Hanizah yang melihat kami keheranan, menjelaskan bahwa
dia akan mengajar matematika untuk kelas ini menggantikan dosen lama.
Dengan tidak disangka, semua siswa dalam kelas bersorak gembira termasuk
aku. Aku tidak tahu mereka gembira karena mendapat dosen baru atau
gembira karena hal lain. Yang pasti, aku gembira sebab dosen yang paling
cantik, yang selalu kudambakan akan masuk mengajar di kelas ini. Ini
berarti aku dapat melihat dia lebih sering.
Mulai hari itu, Dosen Hanizah yang mengajar matematika. Aku pun jadi
menyukai pelajaran ini, walaupun aku tidak pernah lulus matematika
sebelumnya. Aku sering tanya dan menemui dia, bertanya masalah
matematika. Dari situ, pengetahuan matematikaku bertambah, aku lulus
juga akhirnya dalam ujian bulanan walaupun hanya mendapatkan nilai yang
cukup. Oleh kerena terlalu menyukai Dosen Hanizah, aku jadi sedikit
banyak mengetahui latar belakangnya. Kapan tanggal lahirnya, tinggal
dimana dan bagaimana keadaan keluarganya.
Dalam bulan Juni, Dosen Hanizah ulang tahun, aku mengajak teman satu
kelas untuk mengucapkan “Selamat Hari Ulang Tahun” bila dia masuk nanti.
Ketika Dosen Hanizah masuk ke kelas, ketua kelas mengucapkan “Selamat
Hari Ulang Tahun Dosen” dan diikuti oleh kami semua. Dia terperanjat,
dan bertanya dari mana kami semua tahu tanggal ulang tahunnya. Anak-anak
yang lain menunjuk aku, mereka bilang kalau aku yang memberitahu.
Dosen Hanizah bertanya, “Dari mana kamu mengetahuinya..?”
“Ada lah…” jawabku, setelah itu dia tidak bertanya lagi.
“Ada lah…” jawabku, setelah itu dia tidak bertanya lagi.
Dosen Hanizah tinggal di rumah teres yang bersebelahan dengan komplek
dekat tempat tinggalku, kurang lebih 2 km jaraknya dari rumahku. Waktu
liburan, aku selalu berkeliling dengan sepeda ke komplek perumahan
tempat tinggalnya. Aku tahu rumahnya dan selalu mampir di situ. Pernah
sekali itu, waktu sedang bersepeda, Dosen Hanizah sedang memasukkan
sampah ke dalam tong di luar rumah. Dia melihatku, dan terus
memanggilku. Aku pun segera pergi ke arahnya. Dia tidak memakai tudung,
terurailah rambutnya yang lurus sebahu itu. Sungguh ayu aku melihatnya
sore itu.
“Azlan, rumahmu dekat sini ya..?” tanyanya dalam logat Kedah.
“Tidak juga.” balasku, “Tapi memang tidak terlalu jauh sih.”
“Anda tinggal di sini..?” aku tanya padanya meskipun aku sudah tahu.
“Iya..”
“Sendirian aja? Mana suaminya?”
“Ada di dalam, dengan anak saya.”
“Tidak juga.” balasku, “Tapi memang tidak terlalu jauh sih.”
“Anda tinggal di sini..?” aku tanya padanya meskipun aku sudah tahu.
“Iya..”
“Sendirian aja? Mana suaminya?”
“Ada di dalam, dengan anak saya.”
Ketika
kami asyik berbicara, suaminya keluar, menggendong anak perempuan
mereka. Terus aku diperkenalkan kepada suaminya. Aku berjabat tangan dan
menegur anaknya, sekedar menunjukkan rasa hormatku. Suaminya tidak
terlalu ganteng, tetapi terlihat bergaya, maklumlah pegawai. Setelah
agak lama, aku minta diri untuk pulang.
Sudah 6 bulan Dosen Hanizah mengajar kami, aku bertambah pandai dalam
matematika. Dan selama itulah aku sering berada di kelasnya. Aku sering
membayangkan keadaan Dosen Hanizah tanpa sehelai benang pun di
tubuhnya, pasti indah sekali. Dengan bentuk tubuh yang montok, kecil,
pinggang yang ramping serta kulit yang cerah, jika telanjang pasti
membuat orang yang melihatnya ingin segera menerkam tanpa berpikir dua
kali. Tetapi, aku hanya dapat melihat rambutnya saja di sore itu.
Hari ini libur, libur karena memperingati peristiwa Sukan Tahunan.
Aku tidak tahu hendak kemana, aku lelah bersepeda dan mengayuh tanpa
arah tujuan. Agak jauh kali ini aku berkeliling, ketika ingin pulang aku
melewati kawasan perumahan Dosen Hanizah, waktu itu langit gelap dan
kelihatannya ingin hujan. Aku berharap bisa tiba di rumah sebelum
kehujanan. Tetapi belum sampai di kawasan rumah Dosen Hanizah, hujan
mulai turun, dan lama-lama semakin lebat. Pakaianku basah kuyup.
Aku
tidak berhenti, terus saja mengayuh sepedaku. Aku tidak sadar ternyata
ban sepedaku semakin kempes, seharusnya aku memompa dulu sebelum keluar
tadi. walaupun sebentar lagi akan tiba di kawasan rumah Dosen Hanizah,
aku tidak boleh menaiki sepedaku lagi, karena kalau dinaiki juga, akan
semakin rusak ban sepedaku. Kemudian aku menuntun sepeda sampai ke rumah
Dosen Hanizah. Niatnya aku akan meminjam pompa sepeda kepadanya.
Ketika tiba di depan pintu pagar rumahnya, aku tekan bel rumahnya.
Tidak lama kemudian, pintu rumah dibuka, dari jauh terlihat Dosen
Hanizah menggunakan kain batik dan berbaju T-Shirt sedang
memperhatikanku.
“Dosen..!” jeritku.
“Ada apa Azlan..?” tanyanya keheranan melihat aku yang basah kuyup dalam hujan lebat dengan kilat yang sabung menyabung.
“Saya mau pinjam pompam, ban sepeda saya kempes.”
“Tunggu sebentar..!” jeritnya.
“Dosen..!” jeritku.
“Ada apa Azlan..?” tanyanya keheranan melihat aku yang basah kuyup dalam hujan lebat dengan kilat yang sabung menyabung.
“Saya mau pinjam pompam, ban sepeda saya kempes.”
“Tunggu sebentar..!” jeritnya.
Dosen
Hanizah masuk kembali ke rumah dan keluar membawa payung. Dia
membukakan kunci pintu pagar dan memintaku untuk masuk. Ketika menuntun
sepeda masuk, mataku memperhatikan Dosen Hanizah yang berada di depan,
melenggang-lenggok berjalan menuju ke dalam. Dari belakang,
kerampingannya terlihat jelas, dengan t-shirt yang agak ketat dan kain
batik yang dililit memperlihatkan bentuk badannya yang menarik.
Punggungnya yang montok dan pejal itu membangkitkan gairahku ketika dia
berjalan. Kemaluanku langsung menegak dalam kebasahan.
“Memangnya dari mana saja kamu, kok naik sepeda hujan-hujanan?” tanyanya ketika tiba di depan pintu.
“Jalan-jalan saja, sudah mau pulang tetapi ban sepeda saya kurang angin,” jelasku. “Anda punya pompa ngga..?”
“Saya lihat dulu di gudang. Masuklah dulu.” menawarkan kepadaku.
“Ngga apa-apa kok, nanti malah basah pula rumah Anda.”
“Tunggu dulu…” Dosen Hanizah pun meninggalkanku kedinginan di situ, dia terus pergi ke dalam. Sebentar kemudian dia keluar membawakan pompa dan handuk.
“Nah… ini…” diulurkannya pompa itu ke arahku.
“Jalan-jalan saja, sudah mau pulang tetapi ban sepeda saya kurang angin,” jelasku. “Anda punya pompa ngga..?”
“Saya lihat dulu di gudang. Masuklah dulu.” menawarkan kepadaku.
“Ngga apa-apa kok, nanti malah basah pula rumah Anda.”
“Tunggu dulu…” Dosen Hanizah pun meninggalkanku kedinginan di situ, dia terus pergi ke dalam. Sebentar kemudian dia keluar membawakan pompa dan handuk.
“Nah… ini…” diulurkannya pompa itu ke arahku.
Meskipun aku lelah tetapi langsung terus memompa angin ke dalam ban sepedaku.
“Ingin lansung pulang habis ini?”
“Yaa.. habis mompa terus pulang.”
“Hujan selebat ini mau nekat pulang?”
“Tak apa-apa, sudah basah kuyup juga kok,” jawabku lalu terbersin.
“Nah.., kan kelihatannya kamu mau kena selsema tuh.”
“Hanya sedikit bersin kok,” kataku lalu menyerahkan pompa kepadanya, “Terima kasih Bu..”
“Ada-ada saja kamu, handuk nih, handuki sampai kering dulu badanmu..” katanya sambil memberikan aku handuk yang dipegangnya sejak tadi.
Aku mengambil handuk itu dan mengelap rambut dan mukaku yang basah. Aku dengan santainya berhandukan seperti di rumah sendiri, aku buka baju di depan dia. Setelah itu, baru aku ingat kalau aku berada di depan dosenku.
“Yaa.. habis mompa terus pulang.”
“Hujan selebat ini mau nekat pulang?”
“Tak apa-apa, sudah basah kuyup juga kok,” jawabku lalu terbersin.
“Nah.., kan kelihatannya kamu mau kena selsema tuh.”
“Hanya sedikit bersin kok,” kataku lalu menyerahkan pompa kepadanya, “Terima kasih Bu..”
“Ada-ada saja kamu, handuk nih, handuki sampai kering dulu badanmu..” katanya sambil memberikan aku handuk yang dipegangnya sejak tadi.
Aku mengambil handuk itu dan mengelap rambut dan mukaku yang basah. Aku dengan santainya berhandukan seperti di rumah sendiri, aku buka baju di depan dia. Setelah itu, baru aku ingat kalau aku berada di depan dosenku.
“Sori Bu…” kataku perlahan.
Dosen Hanizah pergi ke dalam. Kukira
dia marah sebab aku buka baju di depan dia, tetapi dia datang sambil
membawakan sarung, T-Shirt dan sebuah bakul.
“Nah, ganti bajumu pakai ini..!” katanya sambil memberikannya kepadaku, “Baju basahnya taruh dalam bakul ini.”
“Nah, ganti bajumu pakai ini..!” katanya sambil memberikannya kepadaku, “Baju basahnya taruh dalam bakul ini.”
Kulemparkan
bajuku ke dalam bakul. Kubuka celanaku langsung di depannya, tetapi
dengan kusarungkan dulu tubuhku dengan sarung pemberiannya. Setelah
mengeluarkan dompetku, kumasukkan celana panjangku yang basah itu ke
dalam bakul, dan yang terakhir celana dalamku.
“Masuk dulu, tunggu sampai hujan berhenti baru kau pulang..” sambung
Dosen Hanizah sambil mengambil bakul berisi pakaian basahku.
“Nanti dulu, saya keringkan baju ini dulu yah..?”
“Nanti dulu, saya keringkan baju ini dulu yah..?”
Aku
pun mengikuti dia masuk. Setelah pintu dikunci, aku disuruh duduk di
ruang tamu dan Dosen Hanizah terus pergi ke dapur. Aku melihat-lihat
perhiasan rumahnya, agak mewah juga perabotan dan perhiasannya. Ketika
asyik melihat-lihat, Dosen Hanizah datang dengan membawakan segelas
minuman dan meletakkannya di atas meja, lalu dia duduk berhadapan
denganku.
“Minumlah. Bajumu lagi Saya keringkan di belakang.”
Aku pun mengambil nescafe itu dan menghirupnya.
“Mana suami Anda?” tanyaku memulai pembicaraan.
“Kerja..”
“Oh ya, hari ini kan hari kerja,” balasku. “Anak..?””Sedang tidur. Kamu duduklah dulu, saya ada kerjaan di belakang.” katanya sambil berdiri dan meninggalkanku.
“Oke…” ringkas jawabku.
Aku pun mengambil nescafe itu dan menghirupnya.
“Mana suami Anda?” tanyaku memulai pembicaraan.
“Kerja..”
“Oh ya, hari ini kan hari kerja,” balasku. “Anak..?””Sedang tidur. Kamu duduklah dulu, saya ada kerjaan di belakang.” katanya sambil berdiri dan meninggalkanku.
“Oke…” ringkas jawabku.
Hujan di luar masih turun dengan lebat dan diikuti dengan bunyi guruh
yang memekakkan telinga. Aku melihat-lihat kalau ada buku yang bisa
kubaca dan ternyata ada. Aku ambil sebuah novel dan mulai melihat-lihat.
Sehelai demi sehelai kubuka isi novel itu, walaupun tidak kubaca. Aku
sebenarnya sedang tidak ingin membaca, tetapi daripada tidak ada yang
dapat kuperbuat, lihat-lihat saja juga lumayan. Aku tidak tahu apa yang
sedang Dosen Hanizah perbuat di belakang. Ketika membaca halaman demi
halaman, pikiranku jauh melayang membayangkan gambaran fantasiku bersama
Dosen Hanizah. Aku teringat akan cerita-cerita X dan blue film yang
kutonton dulu, bila kejadiannya seperti ini, pasti akan berakhir dengan
adegan asmara. Aku membayangkan diriku akan berasmara dengan Dosen
Hanizah, seperti di dalam film yang pernah kutonton.
Sudah hampir 20 menit, hujan tidak menunjukkan tanda-tanda untuk
berhenti. Aku menjadi ingin buang air kecil, maklumlah udaranya dingin.
Aku bangun dan terus menuju ke belakang untuk mencari kamar mandi.
Ketika aku hampir sampai di kamar mandi, aku sekilas melihat Dosen
Hanizah sedang masuk ke kamarnya, hanya dalam keadaan menggunakan handuk
saja, mungkin baru keluar dari kamar mandi. Pada saat melihat tadi, aku
tidak sempat melihat apa-apa kecuali tubuhnya yang hanya tertutup oleh
handuk dan hanya sebentar aku melihatnya. Aku teruskan ke dapur, dan
ketika melewati kamarnya, kudapati pintu kamarnya tidak tertutup rapat.
Aku beranikan diri untuk pergi ke arah pintu dan mulai mengintip
Dosen Hanizah yang ada di dalam, sedang berbuat apa aku pun tidak tahu.
Minta ampun.., berdesir darahku, seperti tercabut jantungku rasanya
melihat Dosen Hanizah yang dalam keadaan telanjang di dalam kamarnya.
Serta merta kemaluanku menegak. Aku hanya dapat melihat bagian
belakangnya saja, dari ujung rambut sampai ke tumit, semuanya jelas
terlihat. Saat itu Dosen Hanizah sedang mengeringkan rambutnya yang
basah dengan handuk yang tadi dipakainya. Inilah pertama kalinya aku
melihat perempuan telanjang secara langsung, biasanya hanya dari video
saja. Terpatung-patung aku di muka pintu melihat bentuk badan Dosen
Hanizah yang seksi, pinggang ramping, punggung yang montok serta kulit
yang putih mulus sedang mengeringkan rambutnya. Hampir timbul niatku
untuk segera masuk dan meraba tubuhnya saat itu, tetapi aku takut nanti
dia malah tidak mau dan menuduhku ingin berbuat cabul terhadapnya.
Apa yang sedang dilakukan Dosen Hanizah terus memukau mataku. Kadang
handuk itu digosokkan ke celah selangkangannya, lalu dilapkan. Kemudian
handuk itu dilemparkan ke atas gantungan. Secara tidak disadari, Dosen
Hanizah membalikkan badannya ke arah pintu, tempat aku berdiri. Dia
jongkok untuk membuka pintu lemari dan terlihatlah sekujur tubuh tanpa
sehelai benang pun yang hanya selama ini menjadi khayalanku saja. Buah
dada Dosen Hanizah yang menonjol segar kemerah-merahan itu sempat
kuperhatikan, begitu juga dengan segitiga emas miliknya yang dijaga
rapih dengan bulu yang tersusun indah, semuanya sempat kulihat.
Bersamaan dengan itu, Dosen Hanizah menengok ke arah pintu dan melihat aku sedang memperhatikannya, dan, “Hei..!” sergahnya.
Lalu
dia menutup bagian tubuhnya dengan kain yang sempat diambilnya dari
dalam lemari. Aku terkejut, terus lari meninggalkan tempat itu. Aku
terus ke kamar mandi. Aku diam di situ hingga kemaluanku mengedur,
sebelum kencing. Mana bisa aku kencing saat kemaluanku berdiri tegak dan
keras.
Ketika selesai, perlahan-lahan aku keluar, kudapati pintu kamarnya
tertutup rapat. Mungkin Dosen Hanizah ada di dalam. Mungkin dia malu,
aku pun malu kalau ketahuan dia saat aku mengintipnya. Aku terus ke
ruang tamu. Sebenarnya setelah itu aku mau langsung pulang saja meskipun
hujan belum reda, karena takut Dosen Hanizah marah sebab kuintip dia
tadi. Tetapi, baju basahku ada padanya dan belum kering lagi. Aku tidak
tahu dimana dia meletakkannya, kalau tahu pasti kuambil dan terus
pulang. Meskipun perasaanku tidak tentram tetapi aku tetap menunggu di
ruang tamu sambil menduga-duga apa yang akan terjadi nantinya.
Tidak lama kemudian, Dosen Hanizah pun datang. Dia menggunakan kain
batik dengan kemeja lengan pendek. Wajahnya tidak menunjukkan senyumnya,
tidak juga memperlihatkan tanda akan marah. Dia duduk di depanku,
sempat juga aku sekilas memperhatikan pangkal buah dadanya yang putih
itu. Dia menatap tepat ke arah mataku. Aku takut, lalu mengalihkan
pandanganku.
“Azlan..!” tegurnya dengan nada yang agak tinggi.
Aku menoleh menantikan ucapan yang akan keluar dari mulut yang kecil berbibir munggil itu.
“Sudah lama Azlan ada di dekat pintu tadi..?”
“Minta maaf Bu..” balasku lemah, tunduk mengakui kesalahan.
“Saya tanya, sudah lama Kamu lihat Saya sewaktu di dalam kamar tadi..?” dia mengulangi kata-katanya itu.
“Lama juga…”
“Kamu melihat apa yang saya perbuat..?”
Aku menoleh menantikan ucapan yang akan keluar dari mulut yang kecil berbibir munggil itu.
“Sudah lama Azlan ada di dekat pintu tadi..?”
“Minta maaf Bu..” balasku lemah, tunduk mengakui kesalahan.
“Saya tanya, sudah lama Kamu lihat Saya sewaktu di dalam kamar tadi..?” dia mengulangi kata-katanya itu.
“Lama juga…”
“Kamu melihat apa yang saya perbuat..?”
Aku mengangguk lemah dan berkata, “Maafkan Saya Bu…”
“Azlan..! Azlan..! Kenapa kamu mengintip Saya..?” nada suara Dosen Hanizah kembali lembut.
“Saya tak sengaja, bukannya mau mengintip, tapi pintu kamarnya yang tak rapat…”
“Salah Saya juga, sebab tidak menutup pintu tadi.” balasnya.
“Azlan..! Azlan..! Kenapa kamu mengintip Saya..?” nada suara Dosen Hanizah kembali lembut.
“Saya tak sengaja, bukannya mau mengintip, tapi pintu kamarnya yang tak rapat…”
“Salah Saya juga, sebab tidak menutup pintu tadi.” balasnya.
Dosen Hanizah sepertinya tidak marah, kupandangi wajahnya yang ayu
itu, terpancar kejernihan di wajahnya. Aku hanya mampu tersenyum dalam
hati saja bila dia senyum sambil menggelengkan kepalanya.
“Kenapa kamu kelihatan pucat..?”
“Takut, takut Anda marah…”
“Sudahlah, Saya tidak marah. Saya juga yang salah, bukan hanya Kamu. Sebenarnya siapa pun yang punya kesempatan seperti itu pasti akan melakukan yang Kamu lakukan tadi…” jelasnya.
Aku menganggukkan kepala sambil tersenyum. Tidak disangka Dosen Hanizah begitu sportif, walaupun dalam kasus begini seharusnya dia marah.
“Aaa, tak tahu sopan juga Kamu…” katanya sambil mencubirkan bibir.
“Kenapa kamu kelihatan pucat..?”
“Takut, takut Anda marah…”
“Sudahlah, Saya tidak marah. Saya juga yang salah, bukan hanya Kamu. Sebenarnya siapa pun yang punya kesempatan seperti itu pasti akan melakukan yang Kamu lakukan tadi…” jelasnya.
Aku menganggukkan kepala sambil tersenyum. Tidak disangka Dosen Hanizah begitu sportif, walaupun dalam kasus begini seharusnya dia marah.
“Aaa, tak tahu sopan juga Kamu…” katanya sambil mencubirkan bibir.
Aku tertawa kecil mengenang peristiwa yang terjadi tadi.
Sesungguhnya aku memang sudah bertindak yang tidak sopan sebab dengan
sengaja melihat Dosen Hanizah yang bertelanjang bulat. Kemaluanku
menegang di dalam sarung membayangkan tubuh montoknya Dosen Hanizah yang
tidak dilindungi sehelai benang pun. Cepat-cepat kututupi dengan
meletakkan bantal kecil ke atas kemaluanku. Jika terlihat Dosen Hanizah,
bisa malu aku dibuatnya.
“Lho, belum turun juga..?” tegurnya manja karena rupanya dia sempat melihat sarungku.
Aku menjadi malu dan posisi dudukku menjadi tidak nyaman lagi. Aku tidak mampu lagi untuk berkata-kata bila ditegur seperti itu.
“Lho, belum turun juga..?” tegurnya manja karena rupanya dia sempat melihat sarungku.
Aku menjadi malu dan posisi dudukku menjadi tidak nyaman lagi. Aku tidak mampu lagi untuk berkata-kata bila ditegur seperti itu.
Agak lama suasana hening menyelubungi ruang tamu rumah yang dihias indah itu.
“Bu..?” aku mula bersuara, “Sungguh hebat..!”
“Apa yang hebat..?”
“Pemandangan yang tadi kulihat.”
“Apa yang Kamu lihat..?”
“Perempuan telanjang.”
“Heh..! Tak sopan betul Kamu ini..!”
“Betul, Anda lihat saja ini..!” kataku sambil memindahkan bantal dari perutku.
“Bu..?” aku mula bersuara, “Sungguh hebat..!”
“Apa yang hebat..?”
“Pemandangan yang tadi kulihat.”
“Apa yang Kamu lihat..?”
“Perempuan telanjang.”
“Heh..! Tak sopan betul Kamu ini..!”
“Betul, Anda lihat saja ini..!” kataku sambil memindahkan bantal dari perutku.
Menimbullah batang kemaluanku ditutupi sarung milik suaminya.
“Tidak mau turun lagi dia..,” sambungku sambil menunjuk ke arah tonjolan di bawah pusarku yang bersarung milik suaminya.
“Tidak mau turun lagi dia..,” sambungku sambil menunjuk ke arah tonjolan di bawah pusarku yang bersarung milik suaminya.
Dosen Hanizah tebengong-bengong dengan tindakanku, namun matanya terpaku di tonjolan pada sarung yang kupakai.
“Hei..! Sopanlah sedikit..!” tegurnya.
Aku membiarkan kemaluanku mencuat tinggi di sarung yang kupakai, aku tidak menutupnya, aku biarkan saja ia tersembul. Kubiarkan Dosen Hanizah menatapnya, tetapi Dosen Hanizah merasa malu, matanya dialihkan ke arah lain, sesekali matanya memandang ke arah tonjolan itu.
“Bu..?” sambungku lagi.
Dia terdiam menantikan kata-kata yang lain, sekali-kali dia memandang ke bawah.
“Anda tahu tidak..? Anda lah orang yang paling cantik di sekolah kita…”
“Mana mungkin..?” balasnya manja malu-malu.
“Betul. Semua teman saya bilang seperti itu. Dosen lelaki pun bilang hal yang sama.”
“Alah, bohong…”
“Betul, saya tidak membual…”
“Apa buktinya..?”
“Buktinya, tadi. Saya sudah melihat seluruh lekuk tubuh anda ketika anda tidak memakai baju tadi. Itulah buktinya.” jawabku dengan berani.
“Hei..! Sopanlah sedikit..!” tegurnya.
Aku membiarkan kemaluanku mencuat tinggi di sarung yang kupakai, aku tidak menutupnya, aku biarkan saja ia tersembul. Kubiarkan Dosen Hanizah menatapnya, tetapi Dosen Hanizah merasa malu, matanya dialihkan ke arah lain, sesekali matanya memandang ke arah tonjolan itu.
“Bu..?” sambungku lagi.
Dia terdiam menantikan kata-kata yang lain, sekali-kali dia memandang ke bawah.
“Anda tahu tidak..? Anda lah orang yang paling cantik di sekolah kita…”
“Mana mungkin..?” balasnya manja malu-malu.
“Betul. Semua teman saya bilang seperti itu. Dosen lelaki pun bilang hal yang sama.”
“Alah, bohong…”
“Betul, saya tidak membual…”
“Apa buktinya..?”
“Buktinya, tadi. Saya sudah melihat seluruh lekuk tubuh anda ketika anda tidak memakai baju tadi. Itulah buktinya.” jawabku dengan berani.
Aku kira dia akan marah, tetapi Dosen Hanizah terdiam, dia tertunduk
malu. Melihat gelagatnya itu, aku semakin berani mengucapkan kata-kata
yang lebih sensual.
“Badan Anda kecil dan molek, kulit Anda putih, pinggang ramping, punggung montok…”
“Ah, sudah, sudah..!” dia memotong perkataanku.
“Badan Anda kecil dan molek, kulit Anda putih, pinggang ramping, punggung montok…”
“Ah, sudah, sudah..!” dia memotong perkataanku.
Terlihat
wajahnya menjadi merah menahan malu, tetapi aku tidak peduli, kemudian
aku meneruskan rayuanku, “Punggung Anda tadi Saya lihat padat dan
montok. Itu dari belakang. Ketika Anda berbalik ke depan, kemaluan Anda
yang cantik itu membuat batang Saya hampir patah. Tetek Anda membuat
Saya ingin langsung menghisapnya, terlihat sedap.” sambungku.
Terlihat saat itu Dosen Hanizah tidak membantah, dia masih tetap tertunduk malu.
Terlihat saat itu Dosen Hanizah tidak membantah, dia masih tetap tertunduk malu.
Masa aku akan bilang seperti ini padanya, “Penisku jangan berontak,
kayak mau tercabut, punyaku tegang tak tahu kalau aku lagi berusaha.”
tapi itu hanya dalam hati saja.
Dosen Hanizah masih tunduk membisu,
perlahan-lahan aku bangun menghampiri dan duduk di sebelah kirinya. Aku
rasa dia merasakan niatku, tapi dia seakan-akan tidak tahu. Aku
rangkulkan tangan dan memegang belakang badannya.
“Rilek Bu.., Saya hanya main-main saja..!”
“Rilek Bu.., Saya hanya main-main saja..!”
Dia terkejut ketika kupegang punggungnya. Lalu dia goyangkan badan,
aku pun segera menurunkan tanganku itu. Aku masih tetap di sebelahnya,
bahu kami bersentuhan, paha kami juga bergesekan. Hujan makin lebat,
tiba-tiba terdengar bunyi petir yang agak kuat. Dosen Hanizah terkejut
dan dengan spontan dia memeluk diriku. Aku pun terkejut, turut mendekap
kepalanya yang berada di dadaku. Sempat juga aku belai rambutnya.
Entah karena apa, dia sadar dan, “Sori…” katanya ringkas lalu membetulkan posisi duduknya.
Aku melepaskan tanganku yang melingkari badannya, wajahnya kupandang, Dosen Hanizah menoleh ke arahku, tetapi setelah itu dia kembali terdiam dan tunduk ke bawah.
Aku melepaskan tanganku yang melingkari badannya, wajahnya kupandang, Dosen Hanizah menoleh ke arahku, tetapi setelah itu dia kembali terdiam dan tunduk ke bawah.
Kaget juga kurasa tadi, mula-mula dapat melihat tubuhnya yang
telanjang, setelah itu dapat memeluk sebentar. Puas, aku puas walaupun
hanya sebentar. Entah bagaimana membayangkannya, saat itu petir berbunyi
lagi dan saat itu seakan-akan menyambar dekat bangunan rumah dosenku.
Terperanjat karena bunyi yang lebih dahsyat itu, sekali lagi Dosen
Hanizah berpaling dan memeluk tubuhku. Aku tidak melepaskan peluang
untuk memeluknya kembali. Kulingkarkan tangan kiriku ke pinggangnya yang
ramping dan tangan kananku membelai rambut dan kepalanya. Kali ini aku
rapatkan badanku ke arahnya, terasa buah dadanya yang pejal
menekan-nekan dadaku.
Dosen Hanizah mendongakkan kepalanya menatap wajahku. Aku masih tidak
melepaskan dia dari rangkulanku, belakang badannya kuusap dari rambut
sampai ke pinggang. Dia menatapku seolah-olah memintaku untuk
melepaskannya, tapi aku menatap tepat ke dalam anak matanya. Mata kami
bertemu, perlahan-lahan aku rapatkan wajahku ke arah wajahnya, bibirku
kuarahkan ke bibirnya yang munggil dan separuh terbuka itu. Makin rapat,
dan hampir menyentuh bibirnya, dan bersentuhanlah bibirku dengan bibir
dosen yang mengajarku matematika itu. Belum sempat aku mencium bibirnya,
hanya terkena sedikit, Dosen Hanizah memalingkan wajahnya sambil
tangannya mendorong badanku minta agar dilepaskan.
Aku tetap tidak melepaskan dia, peluang seperti ini tidak mudah
kudapatkan. Kutarik dia lagi lebih rapat. Terkejut Dosen Hanizah dengan
tindakanku.
“Azlan… tidak enak ahh…” Dosen Hanizah menolak sambil meronta lemah.
Aku tidak peduli, kueratkan lagi pelukanku, dada kami bertemu, terasa denyut dadanya naik turun dengan nafas yang agak kencang.
“Please Bu…” rayuku.
“Tidak etis ahh.., Saya ini isteri orang..!” rontanya lagi.
“Tenanglah Anda.., pleasseee…” balasku lagi sambil mencium lehernya dengan lembut. Sempat juga aku menjilat cuping telinganya.
“Ja.. ja.. ngan.. lah..!” bantahnya lagi dengan suara yang terputus-putus.
“Azlan… tidak enak ahh…” Dosen Hanizah menolak sambil meronta lemah.
Aku tidak peduli, kueratkan lagi pelukanku, dada kami bertemu, terasa denyut dadanya naik turun dengan nafas yang agak kencang.
“Please Bu…” rayuku.
“Tidak etis ahh.., Saya ini isteri orang..!” rontanya lagi.
“Tenanglah Anda.., pleasseee…” balasku lagi sambil mencium lehernya dengan lembut. Sempat juga aku menjilat cuping telinganya.
“Ja.. ja.. ngan.. lah..!” bantahnya lagi dengan suara yang terputus-putus.
Dia memalingkan wajahnya ke kiri dan ke kanan, mengelakkan ciumanku.
Aku terus mencium lehernya sambil mengeratkan pelukan, karena tak ingin
terlepas.
“A.. a… zzlaaan.. ja…” belum sempat Dosen Hanizah menghabiskan kata-katanya, bibirku berpautan pada bibirnya, kali ini aku cium sekuat-kuatnya.
“Mmmppphhh… mmmppphh…” Dosen Hanizah tidak bersuara lagi saat mulutnya kukecup.
“A.. a… zzlaaan.. ja…” belum sempat Dosen Hanizah menghabiskan kata-katanya, bibirku berpautan pada bibirnya, kali ini aku cium sekuat-kuatnya.
“Mmmppphhh… mmmppphh…” Dosen Hanizah tidak bersuara lagi saat mulutnya kukecup.
Dia
meronta semakin kuat. Aku terus mencium dan mengecup bibir dan mulutnya
sambil tangan kiri menggosok ke seluruh bagian belakang badan dan
tangan kananku memegang kepalanya agar kecupanku tidak putus dari
mulutnya. Diselingi dengan punggungnya yang pejal itu kuremas, kupecet
semauku.
Agak lama mulutku berpaut di bibirnya, hingga rontaannya semakin
lemah, suaranya tidak lagi berbunyi, lama-kelamaan tidak ada lagi
rontaan, sebaliknya tangan Dosen Hanizah memeluk erat leherku. Aku
merasakan bibirnya mulai membalas ciumanku. Apa lagi, aku pun mula
menciumnya dengan penuh mesra dan kelembutan, dia membalas sambil
mengeratkan pelukannya. Terasa lidahnya dijulurkan. Aku menyambut dan
lalu menghisap lidahnya, saling bergantian kami berhisap lidah. Pada
waktu itu, hanya terdengar bunyi air hujan yang jatuh membasahi bumi dan
bunyi kecupan mulut kami berdua.
Agak lama kami berciuman, bertautan bibir dan lidah sambil berpelukan
mesra. Kemudian, Dosen Hanizah meleraikan tautan itu diikuti dengusan
birahi, “Mmmm…”
Kami bertatapan mata, tanganku masih dilingkarkan pada tubuhnya, badan kami masih saling rapat, nafasnya semakin kencang, nafsuku semakin meningkat diikuti dengan kemaluanku yang semakin menegang. Tatapan matanya yang redup itu bagaikan meminta sesuatu, sehingga kutambatkan sekali lagi bibirku ke bibirnya. Kami saling berciuman mesra, sesekali ciuman ditujukan ke arah leher yang putih itu, kucium, kugigit dan kujilat batang lehernya. Dosen Hanizah hanya menggeliat kegelian diperlakukan seperti itu.
Kami bertatapan mata, tanganku masih dilingkarkan pada tubuhnya, badan kami masih saling rapat, nafasnya semakin kencang, nafsuku semakin meningkat diikuti dengan kemaluanku yang semakin menegang. Tatapan matanya yang redup itu bagaikan meminta sesuatu, sehingga kutambatkan sekali lagi bibirku ke bibirnya. Kami saling berciuman mesra, sesekali ciuman ditujukan ke arah leher yang putih itu, kucium, kugigit dan kujilat batang lehernya. Dosen Hanizah hanya menggeliat kegelian diperlakukan seperti itu.
“Ooohhh… A.. zzlannn…” suara manjanya menusuk ke dalam lubang telingaku.
Sambil berciuman, tangan kananku kugeser ke arah depan, buah dadanya kupegang, kuremas lembut. Terasa ketegangan buah dadanya, pejal dan montok. Dosen Hanizah hanya dapat mendesis menahan keenakan yang dirasakannya. Ciumanku bergerak juga ke pangkal dadanya yang putih itu. Aku cium ke seluruh permukaan pangkal dadanya, kemejanya kutarik sedikit ke bawah, hingga menampakkan BH berwarna hitam yang dipakainya. Kepala dan rambutku diremas dan dipeluk erat oleh Dosen Hanizah ketika dadanya kucium dan payudaranya kuremas.
“Aaahhh… mmmppphhh…” rintihannya membangkitkan nafsuku.
Sambil berciuman, tangan kananku kugeser ke arah depan, buah dadanya kupegang, kuremas lembut. Terasa ketegangan buah dadanya, pejal dan montok. Dosen Hanizah hanya dapat mendesis menahan keenakan yang dirasakannya. Ciumanku bergerak juga ke pangkal dadanya yang putih itu. Aku cium ke seluruh permukaan pangkal dadanya, kemejanya kutarik sedikit ke bawah, hingga menampakkan BH berwarna hitam yang dipakainya. Kepala dan rambutku diremas dan dipeluk erat oleh Dosen Hanizah ketika dadanya kucium dan payudaranya kuremas.
“Aaahhh… mmmppphhh…” rintihannya membangkitkan nafsuku.
Aku semakin berani, kancing kemejanya kubuka satu persatu sambil
tetap aku mencium dan mengecup wajahnya. Mulut kami bertautan lagi
ketika jari-jari tanganku sibuk menanggalkan kancing kemejanya, dan
akhirnya habis juga kancingnya kubuka. Perlahan-lahan sambil mencium
mulutnya, aku melucutkan kemejanya ke belakang. Seperti dalam film,
Dosen Hanizah meluruskan tangan agar kemeja itu dapat dilucutkan dari
tubuhnya. Kini, bagian atas tubuh Dosen Hanizah hanya terbalut BH saja.
Aku leraikan ciuman mulut, lalu mencium pangkal buah dada di atas
BH-nya. Aku cium, aku jilat seluruh pangkal buah dadanya sambil
meremas-remas. Suara rintihan Dosen Hanizah semakin kuat apabila
kupencet putingnya yang masih berada di dalam BH. Dosen Hanizah
merangkul erat dan meremas-remas rambutku. Sambil mencium dan meremas
buah dadanya, kulingkarkan tanganku ke belakang dan mulai mencari
kancing penyangkut BH yang dipakai Dosen Hanizah. Ketemu, dan terus
kulepaskan kancing itu. Perlahan-lahan aku menarik turun BH hitamnya ke
bawah dan terus kulempar ke atas sofa.
Terpukau mataku ketika bertatapan dengan payudaranya yang putih
kemerahan yang tadi hanya dapat kulihat dari jauh saja. Aku puntir dan
main-mainkan putingnya sambil mulutku mencium dan menjilat yang
sebelahnya lagi. Suara desisan Dosen Hanizah semakin manja, semakin
bergairah kudengar. Habis kedua belah payudaranya kujilat dan kuhisap
semauku, putingnya kujilat, aku gigit mesra dengan diikuti rangkulan
erat oleh Dosen Hanizah ke kepalaku.
Sambil mengulum puting payudaranya, aku membuka t-shirt yang kupakai
tadi, lalu melemparkannya ke bawah. Aku tidak berbaju, begitu juga Dosen
Hanizah, kami berdua hanya bersarung dan memakai kain batik saja.
Suasana dingin terasa oleh desiran hujan di luar, namun kehangatan tubuh
Dosen Hanizah membangkitkan nafsu birahi kami. Aku terus memeluk
Dosen Hanizah erat-erat sambil berkecupan mulut. Buah dadanya terasa
hangat bergesekan dengan dadaku. Inilah perasaan yang sukar digambarkan,
berpelukan dengan perempuan dalam keadaan tidak berbaju, buah dadanya
yang pejal menekan-nekan dadaku ke kiri dan ke kanan mengikuti alunan
nafsu.
Setelah agak lama berciuman dan berpelukan, kubaringkan Dosen Hanizah
ke atas sofa itu. Dia merelakannya. Aku menatap sekujur tubuh yang
separuh telanjang itu di depan mata. Saat aku berdiri, Dosen Hanizah
hanya memandang sayu melihatku melucutkan sarungku dan bertelanjang di
hadapannya. Kemaluan yang sudah menegang itu memerlukan sesuatu untuk
dijinakkan. Aku duduk kembali di sisinya, terus membelai buah dadanya
yang menegang itu. Aku kembali mengulum puting payudaranya sambil tangan
kananku turun ke arah lembah, lalu merabanya untuk mencari puncak
kebirahian wanita yang begitu dipelihara. Segitiga emas milik Dosen
Hanizah akan kuraba, aku mulai mengusap dan menggosok di bagian bawah
lembah itu. Terangkat-angkat punggung Dosen Hanizah menahan keenakan dan
kenikmatan yang sukar digambarkan oleh kata-kata. Yang kedengaran
hanyalah rintihan dan desisan manja yang mempesonakan birahiku,
“Mmmpphhhmm… aaahhh…”
Aku mulai melepaskan ikatan kain batiknya, dengan lembut aku menarik
kain itu ke bawah untuk melucutkan terus dari tubuhnya. Segitiga emasnya
hanya ditutupi secarik kain berwarna hitam yang juga harus kulucutkan.
Kuusap kemaluannya dari luar, terasa basah dan lengket pada ujung lembah
yang subur itu. Pahanya kuraba dan kuusap sambil lidahku menjilat dan
mencium pusatnya.
Bergelinjang badan Dosen Hanizah diperlakukan seperti
itu. Kedua tanganku memegang celana dalamnya dan mulai melorotkan ke
bawah, kutarik tubuhnya dengan punggung Dosen Hanizah diangkatnya
sedikit, dan terlucutlah benteng terakhir yang ada pada tubuh Dosen
Hanizah. Aku tidak melepaskan peluang untuk menatap sekujur tubuh lemah
yang tidak dibaluti sehelai benang pun. Hal seperti ini sangat
diinginkan oleh setiap insan bergelar lelaki, dan yang lebih lagi adalah
ternyata yang berada di depan mata minta dijamah. Terlihat vaginanya
berair di sekeliling bulu-bulu tipis yang terjaga rapih.
Kusentuh kemaluannya sehingga terangkat tubuhnya menahan keenakan.
Kusentuh lagi dan kugesekkan jari-jariku melewati hutan itu, suara
mengerang mengiringi gerak tubuhnya. Kelentitnya kumainkan, kupelintir
sehingga suara yang dikeluarkan kali ini agak kuat diiringi dengan
badannya terangkat karena kejang. Terasa basah jariku waktu itu, aku
tidak tahu apa yang sedang terjadi saat itu, tetapi sekarang baru kutahu
bahwa Dosen Hanizah mengalami klimaks.
Awalnya aku ingin menjilati vaginanya seperti yang ada di video BF,
tetapi tak jadi sebab liang senggamanya sudah berair dan basah. Aku
terus menghimpitkan tubuhku ke atas tubuhnya dengan lembut sambil
mencium wajahnya. Kemaluanku bergesekan dengan kemaluannya. Terasa ujung
kejantananku bertemu dengan bulu dan air mani yang membasahi lembah
kenikmatan itu. Setelah mendapatkan kedudukan yang tepat, kupegang
kejantanan dan mengarahkan ke lubang senggamanya. Seperti dirancang,
Dosen Hanizah membuka dan meluaskan kangkangannya sedikit. Setelah
berada di ujung muara, aku pun melabuhkan tongkat nakhodaku ke dalam
lautan birahi dengan perlahan-lahan diikuti oleh desisian dan raungan
kami berdua yang bergantian, mengiringi terbenamnya tongkat ke dalam
lembah di lautan.
“Aaarrrghhh… mmm…”
Aku menekan sampai pangkal kemaluan dan
membiarkannya sekejap karena terasa seperti terjepit. Aku mencium leher
dan mulutnya berulang kali. Bila keadaan sudah agak tenang, aku mulai
mendayung, atas, bawah, pelan dan teratur. Kenikmatan pada waktu itu
adalah sangat indah, susah untuk dapat dikatakan, kemudian aku
menggerakkan ke atas dan ke bawah berulang kali. Saat pertama kali aku
perbuat padanya terasa seperti menjepit, karena vaginanya memang sempit.
Dosen Hanizah tidak merasakan sakit yang berpengaruh karena dia pernah
melakukannya dengan suaminya.
Aku dorong dan tarik kemaluanku dengan diiringi suara mengerang yang
agak kuat sambil melihat pemandangan indah di bawah. Sungguh pemandangan
yang indah jika dapat melihat kejantananku sendiri sedang masuk dan
keluar dari lubang senggama wanita, dengan bunyi yang cukup menawan.
Dosen Hanizah memeluk erat pinggangku ketika bergoyang mengimbangi
tubuhku, punggungnya bergerak ke atas dan ke bawah mengikuti arus irama.
Sesekali dia menggoyang-goyangkan punggungnya untuk membantu daya
dorongku, terasa kenikmatan yang tiada bandingnya. Kulajukan dayungan,
semakin laju dengan suara yang semakin kuat. Dosen Hanizah hampir
mengeluarkan suara erangannya, dan aku merasakan hampir keluar seperti
gunung berapi hendak memuntahkan lavanya. Aku lajukan lagi, dengan
sekuat tenaga kutusukkan sedalam-dalamnya diikuti dengan teriakan Dosen
Hanizah. Dengan jeritan Dosen Hanizah yang nyaring, terpancurlah air
maniku jauh ke dasar lubang senggamanya.
Ketika kubuka mataku, aku melihat mata Dosen Hanizah menutup serta
dadanya yang naik turun dengan cepat, ada tetesan peluh di dadanya.
Begitu juga badanku, terasa peluh meleleh di belakang. Kejantananku
semakin menekan ke dalam lubang kenikmatanya yang semakin lembab akibat
muntahan yang terjadi bersamaan. Kukecup dahi Dosen Hanizah, dia membuka
mata dan tersenyum memandangku. Aku membalasnya dengan mengecup mesra
bibirnya. Akhirnya aku tindih tubuhnya di atas sofa itu dengan kepalaku
kuletakkan di atas dadanya. Terdengar bunyi degupan jantung yang kencang
di dada Dosen Hanizah, dosen yang mengajarku matematika di sekolah.
Setelah beberapa menit, aku bangun dan mengeluarkan batang
kejantananku dari dalam lubang senggamanya. Terlihat sedikit air maniku
meleleh keluar melalui lubang kemaluannya yang berdenyut-denyut menahan
kenikmatan. Aku ambil tisue di tepi meja dan kubersihkan air mani yang
meleleh itu. Dosen Hanizah hanya memandang sambil melemparkan senyuman
mesra ke arahku. Kemaluanku yang masih basah kubiarkan kering sendiri.
Aku duduk bersila di atas karpet dengan menghadap arah memandang
wajahnya. Kepalaku sejajar dengan kepalanya yang masih terbaring di atas
sofa itu. Aku meremas dan memilin putting payudaranya. Dosen Hanizah
membiarkan sambil tangannya membelai rambutku. Terasa seperti suami
isteri.
“Terima kasih sayang…” bisikku lembut.
Dosen Hanizah mengangguk senyum.
“Terima kasih sayang…” bisikku lembut.
Dosen Hanizah mengangguk senyum.
Agak lama juga kami dalam keadaan itu sambil menantikan tenaga pulih
kembali dan sampai jantung berdegup dengan normal. Kemudian Dosen
Hanizah bangun dan mencapai pakaiannya pergi ke dalam kamarnya. Jam
menunjukkan pukul 11:30 pagi. Hujan masih belum berhenti, tidak ada
tanda-tanda mau berhenti. Aku kenakan lagi sarungku, tetapi baju tidak
kupakai lagi. Karena masih letih, aku duduk bersandar di sofa mengenang
peristiwa tadi. Pikiranku menerawang. Inilah kenikmatan badan, apa yang
kuidamkan selama ini akhirnya bisa kudapatkan. Dosen yang selama ini
hanya hadir dalam khayalanku saja telah nyata kurasakan. Berasmara
dengan Dosen Hanizah adalah impian setiap lelaki yang mengenalnya, dan
aku dapat menikmati tubuh yang menggiurkan itu. Jika selama ini kulihat
Dosen Hanizah bertudung dan berbaju penuh, hari ini aku melihatnya tanpa
pakaian, mengamati tubuhnya yang indah, setiap lekuk badannya,
payudaranya dan kemaluannya. Semuanya kualami dengan menikmati
pemandangan yang mempesona, malah tidak hanya itu, tetapi juga dapat
merasakan kenikmatan yang ada pada tubuh itu. Aku bahagia. Aku puas,
sangat puas dengan apa yang telah kulakukan tadi. Aku tersenyum
sendirian.
Ketika aku melamun, aku dikejutkan dengan bunyi dentuman petir yang
kuat. Aku teringat Dosen Hanizah. Jam sudah menunjukkan 12:00 tengah
hari. Rupanya sudah hampir setengah jam aku melamun. Aku bangun dan
menuju ke arah kamar Dosen Hanizah. Kuketuk pintu dan terus masuk.
Kelihatan dosen Hanizah telah berpakaian tidur sedang menyikat
rambutnya.
“Ada apa Azlan..?” tanyanya lembut.
“Bosen aja diluar sendirian.” jawabku ringkas sambil duduk di tepi ranjang memandang Dosen Hanizah menyisir rambutnya. Dipojok kamar terlihat ranjang kecil yang di dalamnya ada bayi perempuan Dosen Hanizah yang sedang tidur dengan nyenyaknya. Bunyi dentuman petir seperti tidak diperhatikan, dia tidur seperti tidak menghiraukan keadaan sekitarnya.
“Ada apa Azlan..?” tanyanya lembut.
“Bosen aja diluar sendirian.” jawabku ringkas sambil duduk di tepi ranjang memandang Dosen Hanizah menyisir rambutnya. Dipojok kamar terlihat ranjang kecil yang di dalamnya ada bayi perempuan Dosen Hanizah yang sedang tidur dengan nyenyaknya. Bunyi dentuman petir seperti tidak diperhatikan, dia tidur seperti tidak menghiraukan keadaan sekitarnya.
“Terima kasih yah…” kataku.
“Terima kasih apa..?”
“Yang tadi. Sebab tadi adalah pengalaman yang terindah buat saya.”
“Ohhh… tapi jangan kasih tau orang lain.”
“Janji.” balasku.
Aku kembali memperhatikannya berdandan. Harum minyak wanginya menusuk hidung ketika Dosen Hanizah menyemprotkan ke badannya.
“Kenapa Anda tidak marah..?”
“Marah kenapa..?”
“Iya.., awalnya Anda melarang, Anda menolak Saya, tapi setelah itu..?”
“Setelah itu Saya biarkan..?” sambungnya.
“Haaa…” jawabku dan langsung kusambung, “Apa sebabnya..?”
“Kalau Saya lawan pun Kamu pasti memaksa, Kamu pasti sangat menginginkan.”
“Belum tentu.” jawabku.
“Pasti begitu. Saya mana mungkin melawan. Jadi lebih baik Saya biarkan dan berbagi saja denganmu. Kan dua-duanya senang.” jelasnya.
“Anda tidak menyesal..?” tanyaku ingin kepastian.
“Kalau rela, mana mungkin menyesal, buat apa..?” jelasnya lagi, “Lagian juga Kamu tidak memperkosa Saya, Kamu kan minta baik-baik, Saya jadi memberinya. Ditambah Kamu sudah lihat Saya telanjang. Lain halnya kalau kamu masuk ke rumah Saya, terus menyerang Saya dan perkosa Saya. Kalau itu Saya pasti akan lapor polisi dan Kamu pasti dipenjara.”
“Habis, anda kelihatannya mau melapor. Iya nggak..?” tanyaku meyakinkan.
“Lapor..? Buat apa..? Kamu kan bukan masuk dengan cara paksa, Saya yang suruh Kamu masuk. Saya juga yang membiarkan Kamu menyetubuhi Saya.”
“Kalau suami Anda tahu..?”
“Gimana dia akan tahu..?” tanya Dosen Hanizah. “Ini kan hanya rahasia kita saja kan..?” aku mengangguk. “Jadi, janganlah beritahu orang lain..!” aku angguk lagi tanda paham.
“Terima kasih apa..?”
“Yang tadi. Sebab tadi adalah pengalaman yang terindah buat saya.”
“Ohhh… tapi jangan kasih tau orang lain.”
“Janji.” balasku.
Aku kembali memperhatikannya berdandan. Harum minyak wanginya menusuk hidung ketika Dosen Hanizah menyemprotkan ke badannya.
“Kenapa Anda tidak marah..?”
“Marah kenapa..?”
“Iya.., awalnya Anda melarang, Anda menolak Saya, tapi setelah itu..?”
“Setelah itu Saya biarkan..?” sambungnya.
“Haaa…” jawabku dan langsung kusambung, “Apa sebabnya..?”
“Kalau Saya lawan pun Kamu pasti memaksa, Kamu pasti sangat menginginkan.”
“Belum tentu.” jawabku.
“Pasti begitu. Saya mana mungkin melawan. Jadi lebih baik Saya biarkan dan berbagi saja denganmu. Kan dua-duanya senang.” jelasnya.
“Anda tidak menyesal..?” tanyaku ingin kepastian.
“Kalau rela, mana mungkin menyesal, buat apa..?” jelasnya lagi, “Lagian juga Kamu tidak memperkosa Saya, Kamu kan minta baik-baik, Saya jadi memberinya. Ditambah Kamu sudah lihat Saya telanjang. Lain halnya kalau kamu masuk ke rumah Saya, terus menyerang Saya dan perkosa Saya. Kalau itu Saya pasti akan lapor polisi dan Kamu pasti dipenjara.”
“Habis, anda kelihatannya mau melapor. Iya nggak..?” tanyaku meyakinkan.
“Lapor..? Buat apa..? Kamu kan bukan masuk dengan cara paksa, Saya yang suruh Kamu masuk. Saya juga yang membiarkan Kamu menyetubuhi Saya.”
“Kalau suami Anda tahu..?”
“Gimana dia akan tahu..?” tanya Dosen Hanizah. “Ini kan hanya rahasia kita saja kan..?” aku mengangguk. “Jadi, janganlah beritahu orang lain..!” aku angguk lagi tanda paham.
Dia menuju ke arah ranjang anaknya sambil
membelainya dengan penuh kasih sayang seorang ibu. Kemudian Dosen
Hanizah menghampiriku dan duduk di sebelahku.
“Wanginya…” sapaku manja. Dosen Hanizah mencubit pahaku dan aku berkata, “Saya mau lagi…”
“Mau apa..?”
“Yang seperti tadi.”
“Tadi kan sudah…”
“Tak puas…””Aiii… nggak puas juga..? Suami Saya sekali saja langsung lelah dan tidur, Kamu mau lagi..?”
“Soalnya.., peluang seperti ini susah Saya dapatkan. Lagian tadi Saya tak sempat jilat vagina Anda. Anda pun tak pegang penis Saya. Saya ingin merasakan perempuan pegang penis Saya.” jawabku jujur.
“Jilat..? Mau meniru cerita BF yach..?” balasnya tersenyum.
“Mau apa..?”
“Yang seperti tadi.”
“Tadi kan sudah…”
“Tak puas…””Aiii… nggak puas juga..? Suami Saya sekali saja langsung lelah dan tidur, Kamu mau lagi..?”
“Soalnya.., peluang seperti ini susah Saya dapatkan. Lagian tadi Saya tak sempat jilat vagina Anda. Anda pun tak pegang penis Saya. Saya ingin merasakan perempuan pegang penis Saya.” jawabku jujur.
“Jilat..? Mau meniru cerita BF yach..?” balasnya tersenyum.
Aku mengangguk membalas senyumannya. Kemaluanku kembali menegang,
tenagaku sudah pulih. Aku pegang tangan Dosen Hanizah dan meletakkannya
di atas batang kemaluanku yang mengeras itu. Dosen Hanizah seperti paham
dan meraba batangku yang ada di dalam sarungku. Aku biarkan saja, sedap
rasanya. Setelah itu, aku berdiri dan melucuti sarungku. Aku dengan
telanjang berdiri di hadapan Dosen Hanizah. Dia hanya tersenyum
memandangku. Perlahan-lahan, kemaluanku yang menegang itu dipegangnya,
dibelai dan diusap ke atas dan ke bawah. Nikmatnya tak terkira, selalu
jari sendiri yang berbuat, tapi hari ini jari jemari lembut seorang
wanita cantik yang melakukannya. Aku mendesis karena nikmatnya. Aku
berharap Dosen Hanizah akan menghisap dan mengulum batang kejantananku.
Memang Dosen Hanizah sudah tahu keinginanku. Diciumnya ujung batang
kemaluan aku, dan ujung lidahnya dimainkan di lubang kepala
kejantananku. Aku terasa ngilu, tapi sedap. Perlahan-lahan Dosen Hanizah
membuka mulut dan memasukkan batang kemaluanku ke dalam mulutnya.
Terasa kehangatan air liurnya membasahi batang yang setengahnya
berada di dalam mulutnya. Dihisapnya penisku, dikulumnya ke atas dan ke
bawah. Terasa seperti tercabut ketika itu. Kupegang dan remas rambutnya
yang baru disisir tadi. Aku dorong batang kemaluanku jauh ke dalam
mulutnya, terasa ujung kejantananku terkena dasar tenggorokannya. Dosen
Hanizah menghisap sampai ke pangkal sambil tangannya meremas-remas telur
zakarku. Di saat itu, aku rasakan kenikmatan yang lain dari yang tadi.
Kubiarkan Dosen Hanizah menghisap semaunya, kubiarkan dia menjilat
seluruh batang kemaluanku, telurku. Sengaja kubiarkan sebab sangat
nikmat rasanya.
Setelah itu, aku pegang bahunya. Dia berdiri memandang dengan penuh
kesayuan. Aku pegang dan belai rambut yang terurai di bahu.
Perlahan-lahan kulepaskan baju tidurnya ke bawah, dia tidak memakai
pakaian dalam. Terlihatlah tubuh Dosen Hanizah yang bertelanjang di
hadapanku. Aku lingkarkan tangan di pinggang dan mulai mendekapnya
lembut. Kami berpelukan dan bertautan bibir sambil jari-jariku meraba
dan menggosok seluruh badan. Sekarang baru aku bisa merangkul tubuh yang
kecil molek dengan pinggang yang ramping iti sepuas-puasnya.
Pinggangnya kecil tapi sangat proposional. Kudekap dan kuremas
punggungnya sambil menggesek-gesekkan batang kejantananku ke perutnya.
Sungguh nikmat dapat berpelukan sambil berdiri.
Aku baringkan dia di atas ranjang sambil terus memberikan kecupan
demi kecupan. Kali ini aku tidak berlama-lama mencium payudaranya sebab
sasaran muluku adalah ke liang kenikmatannya. Aku turunkan ciumanku ke
bawah, kemaluannya masih kering. Aku terus mencium kemaluannya itu
dengan lembut. Terangkat punggungnya menahan kenikmatan itu. Bibir
kemaluannya kujilat, kujulurkan lidah dan menusuk ke dalam lubangnya.
Dia mendesis keenakan sambil menggeliat manja. Biji kelentitnya kuhisap,
kujilat semaunya. Vagina Dosen Hanizah mulai basah, aku tak peduli, aku
terus jilat dan hisap sambil tanganku meremas-remas puting payudaranya.
Tiba-tiba, saat menikmati sedapnya menjilat, Dosen Hanizah meraung
dengan tubuhnya terangkat. Serentak dengan itu, habis mulutku dibasahi
dengan simbahan air dari dalam liang kewanitaannya. Ada yang masuk ke
dalam mulutku sedikit, rasanya agak payau dan sedikit asin. Aku berhenti
dan mengelapkan mulutku yang basah karena air maninya. Rupanya Dosen
Hanizah klimaks. Aku mainkan dengan jari saja lubang vagina itu. Entah
karena apa, timbul nafsu untuk menjilat air maninya lagi. Aku kembali
membenamkam wajahku dan mulai menjilat lembah yang basah berair itu.
Lama-lama rasanya menjadi sedap, habis kujilat, kuhisap vaginanya. Dosen
Hanizah hanya merintih manja sambil meliukkan tubuhnya. Ketika aku
menghisap kelentitnya, kumainkan lubang kenikmatannya dengan jari.
Tiba-tiba, sekali lagi dia terkejang kepuasan, dan kedua kali jugalah
air maninya menerjah ke dalam mulutku.
Dengan mulut yang basah karena air maninya, kucium mulut dia. Air
maninya bercampur dengan air liurnya apabila aku membiarkan lidahku
dihisap. Dosen Hanizah menjilat air maninya sendiri tanpa mengetahuinya.
Ketika sudah habis air mani di mulutku karena disedotnya, aku mulai
menghentikan pemanasan. Tubuhnya kutindih, dengan sauh dihalakan ke
lubuk yang dalam dan dilepaskan layar, maka jatuhlah sauh ke dalam lubuk
yang selama ini hanya dilabuhkan oleh sebuah kapal dan seorang nakhoda
saja. Kini kapal lain datang bersama nahkoda muda yang terpaksa
berhempas pulas melawan badai mengarungi lautan birahi untuk sampai di
pulau impian bersama-sama. Perjuangan kali ini lebih lama, dan
melelahkan kerena masing-masing tidak mau mengalah duluan. Berbagai aksi
dilakukan untuk sampai ke puncak kejayaan. Tubuh Dosen Hanizah
kusetubuhi dalam berbagai posisi, dia juga memberikan kerjasama yang
baik kepadaku dalam menempuh gelombang. Akhirnya, setelah berhempas
pulas, kami tiba juga di pulau impian dengan kejayaan bersama, serentak
dengan terjahan padu air hikmat serta jeritan manja, si puteri meraung
kepuasan.
Kami terdampar keletihan setelah penat belayar. Terkulai Dosen
Hanizah di dalam dekapanku. Kali ini lebih romantis, sebab kami berbuat
di atas ranjang dengan kasur yang empuk. Banyak posisi dan gaya yang
telah kami lakukan. Kami telentang kelelahan, dengan peluh memercik
membasahi tubuh dan wajah kami. Air maniku meleleh keluar kedua kalinya
dari lubang yang sama. Dosen Hanizah mendekap badanku sambil jarinya
membelai kemaluanku yang terkulai basah itu. Dimainkannya seperti bayi
mendapatkan boneka. Kubiarkan sambil mengecup dahinya tanda terima
kasih. Kami tidak bersuara karena sangat letih.
Saat itu sempat juga aku mengalihkan pandangan ke arah tempat tidur
anaknya, kelihatan masih terlena dibuai mimpi. Aku risau juga, takut dia
terbangun kerena jeritan dan raungan kepuasan ibunya yang berhempas
pulas melawan badai samudera bersama nakhoda muda yang tidak
dikenalinya. Tubuh kami terasa tidak bernyawa, rasanya untuk mengangkat
kaki pun tidak kuat. Lemah segala sendi dan urat dalam badan. Hanya
suara rintihan manja saja yang mampu dikeluarkan dari pita suara kami
dalam kedinginan akibat hujan yang masih turun lebat.
“Terima kasih ya…” aku mengecup dahinya, dia tersenyum. Kepuasan nampak terpancar di wajahnya.
“Kamu benar-benar hebat…” sahutnya.
“Hebat apa..?”
“Iya lah, dua kali dalam sejam.”
“First time.” balasku ringkas.
“Belum pernah Saya merasa puas seperti ini.” jelasnya jujur.
“Belum pernah..?” tanyaku keheranan.
Dia mengangguk perlahan, “Saya tidak pernah orgasme lebih dulu.”
“Suami Anda melakukan apa saja..?”
“Dia hanya memasukkannya sampai Dia keluar…” sambungnya. “Bila sudah keluar, dia letih, terus tertidur. Saya sudah tidak terangsang lagi saat itu.”
“Kenapa Anda tidak memintanya..?” saranku.
“Kalau sudah keluar, Dia tidak terangsang lagi.”
“Dalam seminggu berapa kali Anda berbuat..?” tanyaku mengorek rahasia mereka.
“Sekali, kadang-kadang tidak dapat sama sekali dalam seminggu itu…”
“Kenapa..?”
“Dia pulangnya terlalu malam, jadi sudah letih. Tidak nafsu lagi untuk bersetubuh.”
“Ohhh…” aku menganguk seakan memahami.
“Kapan terakhir Anda melakukannya..?” pancingku lagi.
“Ehh, dua minggu yang lalu.” jawabnya yakin.
“Sudah dua minggu Anda tidak mendapatkannya..?” sambungku terkejut, Dosen Hanizah hanya menganggukkan kepala mengiyakannya.
“Jelas Dosen Hanizah tidak marah besar ketika aku mulai menjamah tubuhnya.” dalam hatiku, “Dia mengidamkan juga rupanya…”
“Kamu benar-benar hebat…” sahutnya.
“Hebat apa..?”
“Iya lah, dua kali dalam sejam.”
“First time.” balasku ringkas.
“Belum pernah Saya merasa puas seperti ini.” jelasnya jujur.
“Belum pernah..?” tanyaku keheranan.
Dia mengangguk perlahan, “Saya tidak pernah orgasme lebih dulu.”
“Suami Anda melakukan apa saja..?”
“Dia hanya memasukkannya sampai Dia keluar…” sambungnya. “Bila sudah keluar, dia letih, terus tertidur. Saya sudah tidak terangsang lagi saat itu.”
“Kenapa Anda tidak memintanya..?” saranku.
“Kalau sudah keluar, Dia tidak terangsang lagi.”
“Dalam seminggu berapa kali Anda berbuat..?” tanyaku mengorek rahasia mereka.
“Sekali, kadang-kadang tidak dapat sama sekali dalam seminggu itu…”
“Kenapa..?”
“Dia pulangnya terlalu malam, jadi sudah letih. Tidak nafsu lagi untuk bersetubuh.”
“Ohhh…” aku menganguk seakan memahami.
“Kapan terakhir Anda melakukannya..?” pancingku lagi.
“Ehh, dua minggu yang lalu.” jawabnya yakin.
“Sudah dua minggu Anda tidak mendapatkannya..?” sambungku terkejut, Dosen Hanizah hanya menganggukkan kepala mengiyakannya.
“Jelas Dosen Hanizah tidak marah besar ketika aku mulai menjamah tubuhnya.” dalam hatiku, “Dia mengidamkan juga rupanya…”
Hampir setengah jam kami berbicara dalam keadaan berpelukan dan
bertelanjang di atas ranjang itu. Segala hal mengenai masalah rumah
tangganya kutanya dan dijawabnya dengan jujur. Semua hal yang berkaitan
diceritakannya, termasuk jeritan batinnya yang rindu akan belaian dari
suami yang tidak pernah benar-benar dinikmatinya. Suaminya terlalu sibuk
dengan kerjanya hingga mengabaikan nafkah batin si isteri. Memang bodoh
suami Dosen Hanizah, sebab tidak menggunakan sepenuhnya tubuh yang
menjadi idaman setiap lelaki yang memandang itu. Nasibku baik, sebab
dapat menikmati tubuh itu dan sekaligus membantu menyelesaikan masalah
kepuasan batinnya.
Aku semakin bangga apabila dengan jujur Dosen Hanizah mengakui bahwa
aku telah berhasil memberikan kepuasan kepada dirinya, batinnya kini
tidak lagi bergejolak. Raungannya kini tidak lagi tidak dipenuhi, Dosen
Hanizah sudah dapat apa yang diinginkan batinnya selama ini, walaupun
bukan berasal dari suaminya sendiri, tetapi dengan anak muridnya, yang
lebih muda 10 tahun tetapi gagah seperti berusia 30 tahun. Desiran hujan
semakin berkurang, rintiknya semakin perlahan, menunjukkan tanda-tanda
hendak berhenti. Kami bangun dan melihat ke luar jendela. Seperti
disuruh, Dosen Hanizah mengenakan kembali pakaian tidurnya lalu terus ke
dapur. Aku menanti di kamar itu. Tak lama kemudian, dia masuk dan
menyerahkan pakaianku yang hampir kering. Setelah mengenakan pakaian,
aku ke ruang tamu dan minta diri untuk pulang karena terlihat hujan
sudah berhenti.
Dosen Hanizah mengiringi aku ke pintu. Sekali lagi aku mengucapkan
terima kasih atas segala layanannya. Dosen Hanizah juga berterima kasih
kerena telah membantunya. Aku ambil sepedaku, lalu membuka pintu pagar
dan terus mengayuh menuju ke rumah. Tidak terlihat Dosen Hanizah di
halaman rumah, maklumlah hujan, lagi pula sekarang waktunya makan siang.
Setibanya di rumah, aku mandi. Di kamar, terlihat dengan jelas bekas
gigitan di leherku. Ah, gawat bisa malu aku nanti. Aku berniat kalau
tidak hilang sampai besok, aku pasti tidak akan ke sekolah.
Keesokan harinya, tidak terlihat bekas gigitan pada leherku. Aku ke
sekolah seperti biasa bersama adik-adikku yang lain. Mereka perempuan,
jadi tidak satu sekolah denganku. Di sekolah, bila bertemu dengan Dosen
Hanizah yang berbaju kurung bertudung kepala, aku tersenyum dan
mengucapkan selamat, seperti tidak ada sesuatu di antara kami. Dosen
Hanizah pun bertingkah biasa saja, walaupun di hati kami masing-masing
tahu apa yang telah terjadi sewaktu hujan lebat kemarin.
Di dalam kelas,
dia mengajar seperti biasa. Aku pun tidak macam-macam, takut nanti
teringat dan menginkannya di kelas.
Selama sebulan lebih setelah kejadian itu, kami masih bersandiwara
seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa di antara kami. Tidak pernah
bercerita tentang hal itu. Kalau kami bertemu pun, hanyalah berkisar
masalah pelajaran. Aku yang baru pertama kali mendapatkannya, sudah
merasa ketagihan. Terasa ingin lagi menjamah tubuh perempuan, sudah tak
kuat nafsuku ditahan. Pada suatu hari, kalau tidak salah hari Selasa,
aku berjumpa dengannya di ruang guru. Waktu itu, ruang guru sedang
kosong, aku memberanikan diri meminta keinginanku untuk menjamah
kenikmatan tubuhnya. Pada awalnya Dosen Hanizah agak keberatan, tetapi
setelah mendesak dan membujuknya, dia mulai lembut. Dosen Hanizah
setuju, tapi dia akan beritahu aku bila saatnya memungkinkan. Aku minta
padanya kalau bisa dalam waktu dekat ini karena aku sudah tak tahan
lagi. Kalau keadaan aman, dia akan memberitahuku katanya. Aku gembira
dengan penjelasan itu.
Tiga hari setelah itu, Dosen Hanizah memanggilku ke ruang guru. Dia
memintaku ke rumahnya malam Senin. Dia memberitahu bahwa suaminya akan
keluar kota ke Johor selama dua hari. Aku janji akan datang. Aku setuju,
tapi bagaimana caraku untuk bilang pada orang tuaku kalau aku akan
bermalam di luar. Aku ijin untuk menginap di rumah teman dengan alasan
belajar bersama dan terus ke sekolah besoknya. Mereka mengijinkan. Tiba
malam yang dijanjikan, kurang lebih pukul 8:00, aku tiba. Dosen Hanizah
menyambutku dengan senyuman. Anaknya yang bermain-main dengan
permainannya terhenti melihatku masuk. Setelah melihatku, dia kembali
bermain lagi. Nasib baik karena anak Dosen Hanizah masih kecil jadi
masih belum mengerti apa-apa. Malam itu, kami tidur bersama di kamar
seperti sepasang suami isteri. Persetubuhan kami malam itu memang
menarik, seperti sudah lama tidak merasanya.
Aku melepaskan rinduku ke seluruh bagian tubuhnya. Dosen Hanizah kini
tidak lagi malu-malu meminta dipenuhi keinginannya jika lagi nafsu.
Kalau tidak salah, malam itu kami bermain sampai 4 kali. Yang terakhir
kali sudah sampai dini hari, dan kami tertidur. Bangun-bangun sudah
pukul 8:00 lebih ketika anaknya menangis. Kami sudah terlambat ke
sekolah, Dosen Hanizah menelpon dan mengatakan kalau dia sakit. Aku pun
sudah malas untuk ke sekolah.
Setelah menenangkan anaknya dengan memberikan susu, dia menidurkan
kembali anaknya. Kami bersarapan dengan makanan yang disediakannya.
Kemudian, kami mandi bersama, bertelanjang dan bersenggama di dalam
kamar mandi. Di dalam kamar mandi aku minta dia untuk menerima seluruh
air maniku ke dalam mulutnya. Dosen Hanizah setuju, setelah puas, batang
kejantananku menyusuri lembah, di saat mau melepaskan puncak
kenikmatanku, aku minta Dosen Hanizah duduk dan aku arahkan senjataku ke
sasaran, dan terus menembak ke mulutnya yang terbuka lebar. Penuh mulut
Dosen Hanizah dengan air maniku. Ada beberapa tetes yang tertelan, yang
lain dimuntahkannya kembali. Aku mengarahkan batang kejantananku masuk
ke dalam mulutnya, dia terpaksa menerima dan mulai menghisap batang
kejantananku yang masih berlinang dengan sisa air mani yang ada.
Kami terus mandi dan membersihkan badan. Anaknya telah lama tertidur,
kami berdua beristirahat di ruang tamu sambil mendengar radio. Kami
berbincang tentang hal peribadi masing-masing. Sesekali Nescafe panas
yang dihidangkan oleh Dosen Hanizah kuhirup. Aku memberitahu padanya
kalau aku tak pernah punya cewek kalau ditanya orang lain, dan aku juga
merasa bangga kerena dapat merasakan nikmatnya hubungan antara lelaki
dan perempuan lebih awal. Sambil berbicara, aku mengusap dan meremas
lembut buah dada dosenku yang berada di sebelah. Aku juga bertanya
tentang suaminya, adakah dia tahu atau merasa ada perubahan sewaktu
berasmara bersama. Dosen Hanizah menjelaskan bahwa dia berbuat seperti
biasanya, waktu berasmara pun seperti biasa.
Dosen Hanizah tidak pernah menghisap kemaluan suaminya sebab suaminya
tidak mau, begitu juga kemaluannya tidak pernah dijilat. Jadi, akulah
orang pertama menjilat kemaluannya dan kemaluan akulah yang pertama
masuk ke dalam mulut Dosen Hanizah. Dosen Hanizah bilang suaminya merasa
jijik apabila kemaluannya dijilat, dihisap dan dimainkan dengan mulut.
Karena itulah, Dosen Hanizah tidak keberatan mengulum kemaluanku karena
memang diiginkannya. Kami ketawa kecil mengenangkan aksi-aksi gairah
yang pernah kami lakukan.
Jam menunjukkan pukul 10:00 lebih. Dosen Hanizah bangun menuju ke
kamarnya, aku mengekori. Di kamar, dia melihat keadaan anaknya yang
sedang pulas. Perlahan-lahan aku memeluknya dari belakang. Tanganku,
kulingkarkan ke pinggangnya yang ramping sambil mulut mengecup lembut
lehernya. Sesekali tanganku meremas buah dadanya yang kian menegang. Aku
memalingkan tubuhnya, kami berdakapan sambil berkecupan bibir. Tubuhnya
kubaringkan ke atas ranjang sambil mengulum bibirnya dengan mesra.
Pakaiannya kulepaskan, begitu juga dengan pakaianku. Mudah dilepaskan
karena memang kami masing-masing sudah merencanakannya.
Entah berapa kali mulutku penuh dengan air maninya sebelum kemaluanku
menerobos liang keramat itu. Kali ini aksi kami semakin ganas. Tubuhnya
yang kecil itu kutindih semaunya. Akhirnya, muntahan cairan kentalku
tidak dilepaskan di dalam, tetapi di mulutnya. Air maniku memenuhi
mulutnya ketika kumuntahkan di situ. Dia menerimanya dengan rela sambil
menjilat-jilat sisanya yang meleleh keluar, sambil batang kemaluanku
dikulumnya untuk menjilati sisa-sisa yang masih ada. Aku tersenyum
melihat lidahnya yang menjilat-jilat itu seperti mendapatkan suatu
makanan yang lezat. Dia juga ikut tersenyum melihatku.
Setelah habis ditelannya. Aku mulai memakai kembali pakaianku. Dosen Hanizah duduk bersandar, masih bertelanjang.
“Sedap..?” tanyaku sambil menjilat bibir.
“Sedap..?” tanyaku sambil menjilat bibir.
Dosen
Hanizah mengangguk paham. Dia kemudian mengenakan pakaian tidurnya lalu
menemaniku hingga ke pintu. Setelah selesai, aku minta diri untuk
pulang ke rumah, takut nanti bohongku ketahuan. Dia melepasku dengan
berat hati. Aku pulang, orang tuaku tidak ada, yang ada hanya pembantu.
Aku memberitahu mareka kalau aku sakit dan terus ke kamar untuk tidur.
Begitulah kisahku berasmara dengan dosen matematikaku yang hingga
kini masih menjadi kenangan, walaupun sudah 10 tahun lebih aku
meninggalkan sekolah dan negeri itu untuk berkerja di Kuala Lumpur.
Waktu aku tingkat 6, Dosen Hanizah pindah ke Johor. Selama itu, banyak
sekali kami melakukan hubungan seks. Sebelum berpindah, Dosen Hanizah
mengandung, aku sempat juga tanya anak siapa, dia tidak menjawab tapi
tersenyum memandangku. Aku mengerti, itu adalah hasil dari benih yang
kutaburkan berkali-kali. Setelah itu, aku tak pernah bertemu atau
mendengar kisahnya.
Aku mendapat kabar angin kalau Dosen Hanizah kini mengajar di Kuala
Lumpur. Kalau betul, aku mau coba mencari walaupun kini usianya kurang
lebih 43 tahun. Sampai sekarang aku masih belum menemuinya, tetapi
sebelum Hari Raya tahun 2000, aku melihat Dosen Hanizah di Mid Valley
Shopping Centre sedang belanja dengan anak-anaknya.
0 komentar:
Posting Komentar